Oleh: Jamal Ma’mur Asmani
Idul fithri adalah kembali suci. Setelah menjalankan puasa Ramadan yang diakhiri dengan pelaksanaan zakat fithrah, manusia menemukan esensinya kembali sebagai hamba Allah dan khalifatullah yang suci. Kesucian ini tidak lepas dari keberhasilan manusia mengendalikan nafsunya dalam bimbingan agama. Puasa tidak hanya menahan makan, minum, dan seks, tapi juga menahan nafsu amarah, dengki, iri hati, sombong, dan pamer yang membuat seseorang bisa intens berdzikir kepada Allah dan merenungkan tanda-tanda kebesaranNya sehingga menjadi pribadi yang ikhlas dan bersyukur atas nikmat yang diberikan Allah. Hamba yang bersyukur dan ikhlas adalah hamba Allah yang selamat dari tipu daya Iblis dan bala tentaranya sehingga hidupnya di dunia dan akhirat menjadi bahagia dalam naungan ridla Allah dan RasulNya.
Kesucian manusia juga dibuktikan oleh kepedulian sosialnya yang tinggi dengan menunaikan zakat. Zakat, infak dan sedekah menjadi ibadah sosial yang merekatkan hubungan kemanusiaan, khususnya mereka yang membutuhkan pertolongan. Zakat, infak dan sedekah berfungsi menjaga harta, membantu fakir-miskin dan orang-orang yang membutuhkan, melatih sifat dermawan dan membuang sifat bakhil, serta sebagai tanda syukur atas nikmat harta yang diberikan Allah. Zakat, infak dan sedekah menunjukkan satu mukmin dengan mukmin lainnya bersaudara dan laksana satu tubuh. Jika yang satu sakit yang lain merasa sakit, sehingga satu dengan yang lain saling membantu dan meringankan beban sesama.
Ibadah sosial lainnya yang harus segera dilaksanakan untuk meneguhkan kesucian adalah halal bi halal, yaitu memohon ampunan dan bebas dari kesalahan yang dilakukan. Halal bi halal adalah budaya yang dirintis KH. Abdul Wahab Hazbullah untuk merekatkan ketegangan yang terjadi di era Soekarno. Dalam perjalanannya, halal bi halal menjadi budaya yang diikuti mayoritas bangsa Indonesia. Instansi pemerintah, lembaga pendidikan, organisasi sosial keagamaan, dan bahkan keluarga mengadakan acara halal bi halal untuk mempertemukan dan menguatkan tali persahabatan dan kekeluargaan.
Dalam hadis disebutkan, orang yang pernah berbuat aniaya kepada orang lain, maka seyogianya cepat memohon ampunan dan halalnya. Jika tidak, maka di akhirat balasan Allah sangat pedih. Kebaikan orang yang menganiaya diberikan kepada orang yang dianiaya. Jika kebaikannya sudah habis, maka kejelekan orang yang dianiaya diberikan kepada orang yang menganiaya (HR. Bukhari). Dalam hadis lain dijelaskan, orang bangkrut adalah orang yang menjalankan ibadah ritual, seperti shalat, puasa, dan zakat. Namun ia senang mencela, menuduh, memakan harta yang tidak halal dan perilaku negatif lainnya yang melukai orang lain (HR. Muslim).
Dalam Islam, memohon maaf tidak harus menunggu idul fithri. Jika seseorang melakukan kesalahan kepada orang lain, maka secepatnya ia harus memohon ampunan supaya tidak lupa atau orangnya meninggal. Meskipun demikian, idul fithri menjadi wahana efektif untuk bermaaf-maafan dan merekatkan tali persaudaraan antar sesama umat manusia yang rindu kedamaian, ketentraman dan kebersamaan. Ajaran agama yang sudah menjadi budaya bangsa ini menjadi infrastruktur yang kokoh dalam pembumian nilai-nilai Islam universal lintas agama. Budaya halal bi halal akhirnya tidak hanya monopoli umat Islam, tapi juga agama lain karena esensi utamanya adalah saling memaafkan kesalahan sehingga tercipta persaudaraan dan kebersamaan.
Polarisasi sosial akibat konflik politik saat Pilpres dan Pileg 2024 seyogianya kembali rukun dan guyup saat halal bi halal. Persatuan nasional adalah modal utama pembangunan bangsa yang harus dirawat terus menerus tanpa henti. Agama harus menjadi sumber nilai yang menyinari perilaku anak bangsa dalam merawat persaudaraan sosial sehingga persatuan nasional tetap kokoh di tengah perbedaan yang tajam akibat kepentingan politik yang tidak sama.
Para tokoh agama dan politik seyogianya menjadi teladan dalam merajut persaudaraan dan persatuan nasional. Mereka harus proaktif menyebarkan spirit halal bi halal ke seluruh masyarakat supaya kohesivitas dan solidaritas sosial kembali tercipta dengan baik. Masyarakat menjadi sadar akan pentingnya persaudaraan dan persatuan sehingga mereka tidak mudah diprovokasi dan diadu domba oleh kepentingan elit politik yang tidak bertanggungjawab yang suka mengail di air keruh.
Open house para tokoh agama dan politik harus mengundang seluruh elemen masyarakat, baik kelas elit, menengah, dan rakyat biasa, sehingga mereka bisa berbaur satu dengan yang lain tanpa ada diskriminasi. Para tokoh juga diharapkan turun ke bawah menyapa masyarakat dengan mendatangi mereka, melihat tempat tinggal dan menyerap keluh kesah mereka sehingga para tokoh mampu menetapkan program dan anggaran yang sesuai dengan problem riil masyarakat.
Semoga halal bi halal pasca Ramadan ini menjadi momentum membangun persaudaraan sejati dan merekatkan hubungan sosial antar seluruh elemen bangsa lintas sektoral, sehingga bangsa ini bisa terus membangun dan berlari kencang dalam mencapai target-target ideal di seluruh aspek kehidupan, baik infrastruktur, pendidikan, ekonomi, kebudayaan, pertahanan, dan keamanan.
Penulis : Dr. KH. Jamal Makmur Asmani, M.A. adalah A'wan MWC NU Trangkil, wakil ketua PCNU Pati dan Dosen di Institut Pesantren Mathali'ul Falah Kajen Pati Jawa Tengah.